Sabtu, 03 Desember 2011

ANALISIS STILISTIKA GENETIS PUISI CHAIRIL ANWAR

1.  Pendahuluan
                  Puisi adalah curahan pikiran dan perasaan dalam bentuk bahasa yang tepat dan padat. Dan dalam puisi ada beberapa aspek yang begitu menarik yang patut diteliti, terutama jika diteliti lewat puisi seorang punjangga hebat seperti Chairil Anwar.
                 Chairil Anwar adalah seorang pahlawan kebudayaan.  Chairil Anwar adalah prajurit yang bersenjatakan hasil sastranya. Waktu itu adalah saat dimulainya perjuangan fisik bangsa Indonesia untuk mencoba menghalau penjajah dari bumi Indonesia. Chairil telah menyadarkan dan memberi semangat kepada kita di dunia ini, untuk memberi arti pada hidup kita untuk menyadari eksistensi kita di dunia ini, untuk memberi arti pada hidup kita bagi bumi Indonesia, inilah sumbangan dan pengabdian kita pada bumi pertiwi lewat bidang masing-masing. Tentara bertempur di medan laga, politikus dan diplomat bertempur dengan silat lidahnya sedangkan seniman dan budayawan berjuang melalui hasil karya maupun ciptaan-ciptaannya. Untuk itu, Chairil Anwar telah memberi sugesti dan semangat perjuangan bagi bangsanya melalui sajak-sajaknya.
                  Dalam analisis stilistika kali ini akan menekankan beberapa aspek diantaranya yaitu, gaya (style). Gaya adalah aspek pikiran yang diucapkan/ cara penyampaian penyair dalam puisi-puisinya. Gaya  dalam pribadi penulis. Gaya sosial juga beberapa gaya bahasa dan gaya bunyi dari sang penyair.
                   Bagi para sastrawan dan para peminat sastra, nama Chairil Anwar tentu tidak perlu diperkenalkan. Masyarakat luas tentu tidak merasa asing dengan nama besar itu. Nama itu begitu populernya sehingga sebagian siswa sekolah Dasar pun mengenalnya. Jika bahasa puisi memang berisi kemungkinan penggunaan lambang-lambang yang konotatif, maka pernyataan itu dapat pula diartikan bahwa Chairil Anwar ingin hidup terus. Sudah tentu hal ini tidaklah berarti bahwa pribadi Chairil Anwar ingin hidup terus. namun tentulah hasil ciptanyanya. Artinya, perubahan bentuk dan isi puisi yang di peloporinya diharapkan tetap menjiwai karya puisi Indonesia dalam waktu yang lama, bahkan kalau mungkin selama-lamanya.     
                  Memperbincangkan kesusastraan Indonesia, mustahil tanpa menyebut sosoknya. Namanya menjadi bagian tak terpisahkan bagi terbentuknya identitas kesusastraan Indonesia, khususnya identitas sastra puisi Indonesia. Sampai sekarang namanya menjadi mitos dan paling banyak diperbincangkan dalam khazanah sastra Indonesia. Chairil Anwar  dianggap meletakkan dasar perpuisian modern Indonesia, yang mengembangkan estetika Indonesia modern dengan bentuk yang begitu ekspresif, liar, berani, dan tak beraturan. Membicarakan puisi-puisi Chairil Anwar, orang akan mempertautkan dengan vitalitas, ego, dan spirit individualis dalam diri Chairil Anwar  yang memang tersirat dalam banyak sajaknya (bahkan cara hidupnya).
                  Hal itu memang telah menjadi pilihan konsep estetika Chairil Anwar sendiri, seperti yang diteriakkannya dalam pidatonya:…Vitalitas adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan dalam mencapai suatu keindahan. Dalam seni, vitalitas itu sendiri Chaotischvoorstadium, keindahan kosmich eindstadium…(Pidato Chairil 7 Juli 1943). Karena kredonya itu tak heran puisi-puisinya meneriakkan reaksioner, heroik, sangat individualis, bahkan revolusioner. Hal ini tergambar jelas dalam puisi-puisi ”Persetujuan dengan Bung Karno”, ”1943”, ”Semangat”, ”Siap Sedia”, dan masih banyak lagi. Bahkan, ia tak segan-segan mengumumkan dirinya sendiri dengan lantang sebagai ”binatang jalang” dalam sajaknya “Aku” .
                   Sastra menyodorkan ke hadapan kita ekspresi estetis tentang manusia dan kebudayaannya. Di dalamnya tercakup kompleksitas ideologi, dunia nilai, norma hidup, etika,  pandangan dunia, tradisi, dan variasi-variasi tingkah laku manusia. Dengan kata lain, sastra berbicara tentang tingkah laku manusia di dalam kebudayaannya. Di dalam sastra, seperti halnya di dalam kajian tentang kebudayaan, manusia disorot sebagai makhluk sosial, makhluk politik, makhluk ekonomi, dan makhluk kebudayaan. Tak mengherankan sastra disebut cermin masyarakat, dan cermin zaman, yang secara antropologis merepresentasikan usaha manusia menjawab tantangan hidup dalam suatu masa, dalam suatu konteks sejarah tertentu.
                   Manusia individual, atau sang tokoh dalam sastra tersebut, hanya cuilan kecil dan bagian dari sastra yang besar dan luas, bagian dari sastra yang mewakili potret zaman dan cerminan masyarakat tadi. Tapi, sekecil apapun peran sosialnya, manusia adalah aktor. Dia aktor penentu dalam hidupnya sendiri, dan dalam dunianya. 




2.   Pendekatan  Stilistika
Gaya merupakan gejala relasional yang berhubungan dengan (a) rentetan kata, kalimat, dan berbagai kemungkinan manifestasi kode kebahasaan sebagai system tanda, (b) dunia makna yang terepresentasikan, (c) motif serta inovasi penulis, (d) konteks sosial budaya yang melingkupi pribadi pemakainya, dan (e) efek penggunaan bahasa sebagaimana impresi penanggapnya.
                    Identifikasi ciri stilistik dalam karya sastra hanya merupakan bagian dari fokus kajian teks sastra sebagai karya seni. Meskipun pemahaman ciri stilistik teks sastra dapat digunakan sebagai pembuka sekaligus bahan evidensi dalam mendeskripsikan unsur-unsur pembentuk karya sastra secara keseluruhan. Dalam kajian puisi misalnya, pemahaman ciri stilistik dapat melandasi pemahaman dunia citraan, pokok-pokok pikiran penyair, sikap, dan ideologi yang dikemukakan penyair dalam berbagai mantranya. Sementara dalam kajian prosa fiksi, pemahaman ciri stilistik dapat dimanfaatkan sebagai unsur dasar penandaan ciri pelaku, hubungan pelaku, maupun gagasan yang ingin dikemukakan penutur melalui dialog, monolog, lakuan, dan komentar yang diberikannya.
                   Puisi, menurut kamus Wikipedia Indonesia, berasal dari bahasa Yunani kuno poieo/poio yang berarti I create atau saya menciptakan. Adalah seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya. Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan karena beberapa ahli modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literatur tetapi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas.
Sedangkan penyair adalah seseorang yang menulis/mengarang karya puisi. Karya ini biasanya dipengaruhi oleh tradisi budaya dan intelektual dan ditulis dalam suatu bahasa tertentu. Beberapa kalangan menganggap bahwa puisi yang terbaik memiliki ciri-ciri yang luas, tidak lekang oleh waktu dan memiliki gambaran umum bagi seluruh umat manusia. Kalangan lainnya lebih mementingkan kualitas dari fakta dan keindahan yang terkandung dalam puisi tersebut.  Aminuddin (1995) mengatakan bahwa stilistika adalah suatu bidang kajian yang mempelajari dan memberikan deskripsi sistematis tentang gaya bahasa. Sementara kajian dalam buku tersebut hanya diacukan pada karya sastra.
                    Gaya adalah wujud penggunaan bahasa seorang penulis untuk mengemukakan suatu gambaran, gagasan, pendapatnya serta akan membuahkan efek tertentu bagi penanggapnya sebagaimana cara yang digunakannya.
PUISI CHAIRIL ANWAR
1. PRAJURIT JAGA MALAM 
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
(1948) 
2. KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948) 

3. DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

4. AKU 
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

5.CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang terang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata :
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri




Analisis Stilistika Puisi-puisi Karya Chairil  Anwar
1.Pemikiran yang diucapkan/ cara penyampaian.
                    Puisi Chairil Anwar banyak yang menyeruakkan kata-kata “semangat” juga dapat diartikan sebagai perjuangan. Penyair muda yang penuh vitalitas, Chairil Anwar dia seorang pejuang, meskipun tidak perlu disebut pahlawan. Chairil Anwar adalah prajurit yang bersenjatakan hasil sastranya.
Coba lihat cuplikan puisi berikut ini:
Sekali berarti
Sudah itu mati
                  Demikianlah kata Chairil Anwar dalam sajaknya yang berjudul di Ponegoro yang telah ditulisnya dalam tahun 1943 (kerikil Tajam, hal.9). Waktu itu adalah saat dimulainya perjuangan fisik bangsa Indonesia untuk mencoba menghalau penjajah dari bumi Indonesia. Chairil telah menyadarkan dan memberi semnagat kepada kita untuk menyadari eksistensi kita di dunia ini, untuk memberi arti pada hidup kita sebelum kita mungkin mati.
Chairil Anwar telah memberi sugesti dan semangat perjuangan bagi bangsanya melalui sajak-sajaknya. Perhatikan:
Maju
Bagimu negri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinta

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.

Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
                  Siapa pemuda Indonesia yang tak tergerak hatinya untuk meneruskan perjuangan Diponegoro, mengenyahkan penjajah dari Indonesia. Maka dari itu, biarpun “Lawan banyaknya seratus kali” dan meskipun hanya bersenjatakan “Pedang di kanan, keris di kiri”, tetapi dengan “Berselempang semangat yang tidak bisa mati” mereka tetap “maju”, meskipun “Ini barisan tak bergendang berpalu”, tetapi “kepercayaan tanda menyerbu” untuk mengusir penjajah, yang meskipun mungkin mereka harus mati tetapi telah berhasil me-mberi arti pada hidup ini.
                  Demikian pula dalam sajaknya Aku dia telah memberikan dorongan untuk membuat pembebasan dengan segera, dalam bidang perpuisian dan tidak mustahil pula bagi para pejuang bangsa dapat ditafsirkan pembebasan diri dari penjajah dengan mencapai kemerdekaan Indonesia.
                   Sementara dalam puisi Chairil Anwar yang berjudul Krawang Bekasi dan Prajurit Jaga Malam, yaitu ketika perjuangan merebut kemerdekaan benar-benar telah berkobar dengan semangat pantang mundur, Chairil berteriak atas nama beribu-ribu pejuang yang gugur terbaring diantara Krawang  Bekasi (Yang Terhempas dan Yang Putus) bahwa perjuangan belum selesai, dan kepada mereka yang masih hidup diharapkan agar mereka mau mengenang yang telah mati dengan memberi arti pada kematian mereka dengan meneruskan perjuangannya.

Kami mencoba apa yang kami bisa.
Tapi kerja kami belum selesai, belum apa-apa.

Meskipun mereka tidak bisa “teriak Merdeka dan angkat senjata lagi” dan meskipun mereka “mati muda”, tetapi mereka rela. Mereka hanya mengharapkan kepada yang masih hidup.

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir

Sekarang kami mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian.

Memang pada waktu itu kemerdekaan Indonesia masih berupa cita-cita. Tetapi lewat sajak Prajurit Jaga Malam (Yang Terhempas dan Yang Putus) betapa semangat pemuda-pemuda pejuang kita waktu itu dapat kita ketahui.

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam,
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian.

                   Dengan bintang-bintang kepastian inilah akhirnya bangsa Indonesia berhasil mendapatkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.  Sajak-sajak Chairil Anwar memang mengundang decak kagum pada setiap orang. Ia memiliki tema-tema luar biasa yang mampu membangkitkan semangat kebangsaan dan perjuangan pada saat itu. Hal itu dapat kita nikmati dalam sajak-sajaknya seperti yang berjudul "Diponegoro", "Krawang Bekasi" dan "Persetujuan dengan Bung Karno"nya
                     Dalam “Diponegoro”, jelas betapa apresiasi sang penyair atas semangat perjuangan pahlawan tersebut dalam melawan kekuasaan penjajah : “Di masa pembangunan ini / tuan hidup kembali / Dan bara kagum menjadi api / Di depan sekali tuan menanti / Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali / Pedang di kanan, keris di kiri / Berselempang semangat yang tak bisa mati”.  Sedangkan “Kerawang Bekasi” adalah salah sebuah kreasi puisi kemerdekaannya yang amat menyentuh perasaan sekaligus menggugah pikiran yang mengobarkan semangat juang dengan segala pengorbanannya. Sajak itu merupakan suara jiwa pahlawan dengan semangat kepahlawanannya yang gugur di medan laga. Semangat yang menggelorakan semangat para pejuang demi membela dan mewujudkan kemerdekaan. Seperti ketegasannya lebih lanjut: “Ayo!”. “Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji / Aku sudah cukup lama dengar bicaramu / dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu / Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 / Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu / Aku sekarang api aku sekarang laut / Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat / Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar / Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh” (1948). Betapa plastis dan puitisnya semangat Revolusi Agustus diungkapkan oleh Chairil Anwar itu. Suatu pengungkapan kobaran api revolusi yang dinamis dan optimis. Ketegasan sikap dan keberpihakkannya juga menjadi anutan banyak penyair, seniman dan sastrawan lainnya. Sayangnya dia mati muda, dalam usia 25 tahun pada 1949. Dalam suasana genting dan genting pilihan jalan perjuangan: betekuk tunduk kembali menerima dikte kaum kolonialis dan imperialis atau meneruskan perjuangan agar bangsa Indonesia benar-benar mencapai kemerdekaan yang penuh? Karena kaum kolonialis dan nekolim ternyata tidak sudi menyaksikan bangsa dan Republik Indonesia benar-benar menjadi bebas merdeka. Kalau saja penyair Angkatan’45 Chairil Anwar panjang usia, tentunya dia akan lebih gigih dan lebih kreatif lagi dalam bidang seninya mengungkapkan gelora perjuangan bangsa Indonesia selanjutnya.
2. Pilihan dalam menyatakan sesuatu
                  Diksi berarti pemilihan kata yang tepat, padat dan kaya akan nuansa makna dan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi pembaca. Disinilah sering terjadi pergulatan dalam diri seorang penyair, bagai-mana dia memilih kata-kata yang tepat, baik yang mengandung makna denotatif maupun konotatif.
                 Puisi merupakan bentuk sastra yang bersifat konsertatif dan aksentuatif, memuas-kan pada isi daripada kulit luarnya. Hal ini akan berpengaruh terhadap kata-kata yang di pakai dalam puisi. Kata-kata dalam puisi harus singkat, padat, mantap, berat dan sarat akan makna. Seorang penyair sangat cermat dalam memilih kata. Kata-kata dipilih dengan mempertimbangkan makna, komposisi bunyi rima dan iramanya, serta kedudukan katanya di tengah kata lain dan keseluruhan tulisan. Tiap kata jadi memiliki makna. Tiap kata menjadi konkrit dan khusus, atau abstrak dan umum (Lux, dkk., 1989).
                 Chairil Anwar merupakan salah tokoh yang karya-karyanya masuk dalam aliran ekspresionalisme. Dalam aliran ini tidak mengungkapakan kenyataan secara objektif, namun secara subjektif. Yang di ekspresikan adalah gelora kalbunya, kehendak batinya. Puisinya benar-benar ekspresi jiwa, creatio, bukan mimiesis. Namun demikian kadang-kadang penyair realis juga bersikap ekspresionalisme, yakni jika ekspresi jiwanya itu tidak berlebih-lebihan, tetapi apa adanya. Ekspresi jiwa yang berlebihan cenderung bersifat emosional adalah ciri-ciri kaum romantisme.
          
             Sajak ekspresionalisme tidak mengambarkan alam atau kenyataan, juga bukan penggambaran kesan terhadap alam atau kenyataan, tetapi cetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “aku” karya Chairil Anwar di bawah ini.

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

               Pada puisi diatas merupakan eskpresi jiwa penyair yang menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair tidak mau meniru atau menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan sikap jiwanya yang ingin berkreasi. Sikap jiwa “jika sampai waktunya”, ia tidak mau terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin bebas sebebas-bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika ia terluka, akan di bawa lari sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa dengan luka itu, ia akan lebih jalang, lebih dinamis, lebih vital, lebih bergairah hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup seribu tahun lagi.
             Uraian di atas merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya adalah sikap Chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada pembahasan puisi “aku”. Bahasan yang akan saya uraikan tentang puisi aku ini akan lebih mengedepankan pada ekspresionalisme jiwa Chairil Anwar yang merupakan daya ekspresinya. Kalau si aku meninggal, ia menginginkan jangan ada seorang pun yang bersedih “merayu”, bahkan kekasih atau istrinya. Tidak perlu juga ada “sedu sedan” yang meratapi kematian si aku sebeb tidak ada gunannya. Si aku ini adalah binatang jalang yang lepas bebas, yang terbuang dari kelompoknya, ia merdeka tidak mau terikat oleh aturan-aturan yang mengikat, bahkan meskipun ia di tembak, terhadap aturan-aturan yang mengikat tersebut. Segala rasa sakit dan penderitaan akan ditanggungkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa sakit dan penderitaan itu pada akhirnya akan hilang sendiri. Si aku makin akan tidak peduli pada segala aturan dan ikatan, halangan, serta penderitaan. Si aku “ingin hidup seribu tahun lagi”, maksudnya secara kiasan, si aku menginginkan semangatnya, pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.
               Secara struktural dengan cara melihat hubungan antara unsur-unsur dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat didalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukankan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. “Ku mau tak seorang kan merayu”. Orang lain hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya, baik dalam suka maupun duka, maka “tak perlu seduh sedan itu”. Semua masalah pribadi itu urusan sendiri. Dikemukakan secara ekstrim bahwa si aku itu seorang yang sebebas-bebasnya (sebagai binatang jalang), tak mau di batasi oleh aturan-aturan yang mengikat.
               Dengan penuh semangat si aku akan mengahadapi segala rintangan “tebusan peluru”, “bisa dan luka” dengan kebebasnya yang makin mutlak itu. Makin banyak rintangan makin tak memperdulikannya sebab hanya dengan demikian, ia akan dapat berkarya yang bermutu sehingga pikirannya dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya, jauh melebihi umur manusia. “aku ingin hidup seribu tahun lagi”, berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan sebagai kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisik.
               Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan pemilihan kata yang menunjukan ketegasan seperti “ku mau, tak perlu sedu sedan itu, aku tetap meradang, aku akan tetap meradang, aku lebih tak peduli, dan aku mau hidup seribu tahun lagi”. Pernyataan diri sebagai binatang jalang adalah kejujuran yang besar, berani melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya membuat orang tidak sombong terhadap kehebatan ini sendiri sebab selain orang lain orang mempunyai kehebatan juga ada cacatnya, ada segi jelek dalam dirinya.
                Si aku ini adalah manusia yang terasing, keterasingannya ini memang disengaja oleh dirinya sendiri sebagai pertanggung jawaban pribadi “ku mau tak seorang ‘kan merayu , tidak juga kau”. Hal ini karena si kau adalah manusia bebas yang tak mau terikat kepada orang lain “aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang”. Dan si aku ini menentukan “nasibnya” sendiri, tak terikat oleh kekuasaan lain “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Pengakuan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan nasib sendiri “aku mau hidup seribu tahun lagi” adalah merupakan sikap revolusioner terhadap paham dan sikap pandangan para penyair yang mendahuluinya.
                Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan, serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan di atas.
Hiperbola tersebut :
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar perlu menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
………
Aku ingin hidup seribu tahun lagi

Gaya tersebut disertai ulangan i-i yang lebih menambah intensitas :

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku ingin hidup seribu tahun lagi

                   Dengan demikian jelas hiperbola tersebut penonjolan pribadi tampa makin nyata disana ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya. Sajak ini menimbulkan banyak tafsir, yang bersifat ambiguitas hal ini disebabkan ketaklangsungan ucapan dengan cara bermacam-macam.  Semuanya itu untuk menarik perhatian, untuk menimbulkan pemikiran, dan untuk memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari proeses pemilihan ke poros kombinasi. “kalau samapai waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”, “tak perlu sedu sedan “ “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”. “Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anakku, istriku, atau kekasihku”.
                  Semua itu menurut konteksnya. Jadi ambiguitas arti ini memperkaya arti sajak itu. Ambiguitas arti itu juga disebabkan oleh pengantian arti, yaitu dalam sajak ini banyak dipergunakan bahasa kiasan, disini banyak dipergunakan metafora, baik metafora penuh mauapun implisit. Metafora penuh seperti “aku ini binatang jalang”. Maksudnya, si aku itu sepeerti binatang jalang yang bebas lepas tidak terikat oleh ikatan apapun. Metafora impliait seperti “peluru, luka dan bisa, pedih peri”. “peluru” untuk mengkiaskan serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. Meskipun si aku terhembus peluru, mendapat siksaan, mendapat siksaan, rintangan, serangan, ataupun halangan-halangan, ia tetap akan meradang, menerjang: melawan dengan keras, berbuat nekat demi kebenarannya. “luka dan bisa” untuk mengkiaskan penderitaan yang didapat yang menimpa. “pedih peri” kengkiaskan kesakitan, kesedihan atau penderitaan akibat tembusan peluru di kulit si aku (halangan, rintangan, serangan, ataupun siksaan).
                   Kiasan-kiasan yang dilontarkan oleh Chairil Anwar dalam puisinya menunjukkan bahwa di dalam dirinya mencoba memetaforakan akan bahasa yang digunakan yang bertujuan mencetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “aku”. Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vitalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya. Jadi berdasarkan dasar konteks itu harus ditafsirkan bahwa Chairil Anwar dalam puisi “aku” dapat didefinisaikan sebagai bentuk pemetaforaan bahasa atau kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisik.
                    Dengan kiasan-kiasan itu gambaran menjadi konkrit, berupa citra-citra yang dapat diindra, gambaran menjadi nyata, seolah dapat dilihat, dirasakan sakitnya. Di samping itu kiasa-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak. Untuk menyatakan semangat yang nyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya digunakan kiasan “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vitalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya.
                    Penyimpangan arti dan penggantian arti itu menyebabkan sajak “aku” ini dapat tafsirkan bermacam-macam sesuai dengan saran kata-kata dan kalimatnya. Hal ini menyebabkan sajak ini selalu “baru” setiap dibaca dengan tafsiran-tafsiran baru yang memperkaya arti sajak ini, yang ditimbulkan oleh kemampuan struktur sajak ini yang menjadi dinamis oleh ambiguitasnya.
3.  Gaya  pribadi penulis
                 Chairil Anwar adalah legenda sastra yang hidup di batin masyarakat Indonesia. Ia menjadi ilham bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Namun siapa sangka, penyair yang memelopori pembebasan bahasa Indonesia dari tatanan lama ini adalah juga seorang pengembara batin yang menghabiskan usianya hanya untuk puisi?
Berikut ini tulisan tentang Chairi Anwar, yang sebagian besar bahannya dicuplik dari buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arief Budiman, ditambah beberapa referensi lain serta sejumlah wawancara.
"Di Jalan Juanda (Jakarta) dulu ada dua toko buku, yang sekarang jadi kantor Astra. Namanya toko buku Kolf dan van Dorp. Koleksinya luar biasa banyak.
Saya dan Chairil suka mencuri buku di situ," begitu Asrul Sani pernah bercerita.
"Suatu kali kami melihat buku Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra. `Wah, itu buku mutlak harus dibaca,' kata Chairil pada saya. `Kau perhatikan orang itu, aku mau mengantongi Nietzsche ini.' Chairil memakai celana komprang dengan dua saku lebar, cukup besar untuk menelan buku itu."
                   Buku-buku filsafat, termasuk buku Nietzsche tadi, diletakkan di antara buku-buku agama. Kebetulan buku Nietzsche ukuran dan warna sampulnya yang hitam persis betul dengan kitab Injil. "Sementara Chairil mengantongi buku, saya memperhatikan pelayan toko," kata Asrul. "Hati saya deg-degan setengah mati. Setelah buku berpindah tempat, kami lantas keluar dari toko dengan tenang. Tapi sampai di luar tiba-tiba Chairil terkejut, `Kok ini? Wah, salah ambil aku!' sambil tangannya terus membolak-balik buku. Rupanya Chairil salah mengambil Injil. Kami kecewa sekali."
                    Chairil Anwar memang seorang “penggila” buku, yang dengan rakus melahap karya-karya W.H. Auden, Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre Gide, Marie Rilke, Nitsche, H. Marsman, Edgar du Peroon, J. Slauerhoff, dan banyak lagi. Tapi dia adalah penggila buku yang urakan, selalu kekurangan uang, tidak punya pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Alhasil, lengkaplah “ciri-ciri” seniman pada dirinya. Namun, dia juga contoh yang baik tentang totalitas berkesenian dalam dunia sastra Indonesia. Jika Sanusi Pane, Amir Hamzah, Rustam Effendi, dan M. Yamin hanya menjadikan kegiatan menulis puisi sebagai kegiatan sampingan, di samping tugas keseharian mereka sebagai redaktur sebuah surat kabar, politikus, atau lainnya, ia semata-mata hidup untuk puisi dan dari puisi.
                    Tak Terurus. Nama Chairil mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun 1943. H.B. Jassin punya cerita. “Suatu hari di tahun 1943,” tuturnya, “Chairil datang ke redaksi Pandji Pustaka; seorang muda kurus pucat tidak terurus kelihatannya. Matanya merah, agak liar, tetapi selalu seperti berpikir. Gerak-geriknya lambat seperti orang tak peduli. Ia datang membawa sajak-sajaknya untuk dimuat di majalah Pandji Pustaka.”  Tapi didapatnya keterangan bahwa sajak-sajaknya tidak mungkin dimuat. Kata pemimpin majalah itu, ‘Susunan Dunia Baru’ (sajak Chairil) tidak ada harganya. Sajak-sajak individualis lebih baik dimasukkan saja dalam simpanan prive (privacy) sang pengarang. Kiasan-kiasannya terlalu mem-Barat.
                      Sejak itu sang penyair sering terlihat di kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso), yang didirikan Jepang tahun 1943 di Jakarta, dan diketuai sastrawan Armijn Pane. Di kalangan seniman waktu itu, ia mulai sering disebut-sebut sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan-gagasan baru di sekitar puisi.
Gaya bersajak dan elan vital dalam puisi-puisinya yang bercorak individualistis dan mem-Barat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan generasi sebelumnya (baca: Poedjangga Baroe).  Bukan secara kebetulan agaknya jika sajak-sajak Chairil Anwar memiliki nuansa individualistis yang kental.
                     Pergumulan total Chairil dengan kesenian agaknya telah menuntun sang penyair terjerembab dalam sebuah ritus pencarian filosofis. Semacam tertuntun pada sebuah kredo bahwa di dalam kesenian, berfilsafat menjadi keniscayaan yang menusuk. Terutama karena berkesenian mengharuskan sang seniman berhadapan dengan problem-problem tentang ketuhanan, kebebasan, dan apa saja. 

4. Pemakaian bahasa yang berbeda  dengan pemakaian bahasa biasa.
                      Walaupun ada penyair yang menonjolkan bunyi dan mengabaikan peranan kata dalam puisi ciptaannya (misalnya Sajak Hugo Bal), namun tidak dapat dipungkiri bahwa kata sampai saat ini masih merupakan sarana yang sangat penting dalam penciptaan puisi. Bagaimanapun juga, pada umumnya penyair mencurahkan pengalaman jiwanya melalui kata-kata.  Dalam menganalisis puisi, perlu dibahas arti kata dan efek yang ditimbulkannya, misalnya arti denotatif, arti konotatif, kosa kata, diksi, citraan, faktor ketatabahasaan, sarana retorika, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata atau kalimat puisi.
                      Kata-kata yang digunakan oleh penyair disebut Slamet Mulyana sebagai kata berjiwa. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan unsur suasana, perasaan-perasaan penyair, dan sikapnya terhadap sesuatu. Nampaknya penyair mempergunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Ini terjadi karena puisi sebagai ungkapan jiwa. Penyair menghendaki agar pembaca dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa yang dirasakan penyair.

Perhatikan puisi Chairil Anwar berikut ini :

DIPONEGORO

…di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

                 Dalam bait tersebut menyiratkan pancaran sikap seorang Pangeran Diponegoro yang gagah berani, penuh dengan semangat dan rasa patriotisme yang begitu tinggi demi bangsa.  Kata-kata tersebut diambil oleh pengarang kemungkinan karena memiliki unsur yang jauh lebih tinggi dari sekedar bahasa kiasan biasa. Seolah semangat dan nilai yang begitu agung tak tercetak jelas, menjelaskan bahwa ia sesungguhnya ingin mengagumi semangat pahlawannya. Hal serupa juga tersirat dalam bait puisi “Aku” kehebatan Chairil Anwar melukiskan tentang sosok dirinya mungkin dapat terlihat dalam puisi yang tenar ini.

Aku ini binantang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang.

                  Untuk memaksimalkan sebuah kepuitisan karya, biasanya penyair memanfaatkan kemampuannya dalam memilih kata setepat mungkin, memasukkan kata-kata/kalimat yang konotatif dan mempergunakan gaya bahasa tertentu. Pilihan kata penyair sangat membantu imajinasi pembaca. Semakin konkret kata-kata dalam puisi, semakin tepat citraan yang ditimbulkannya. Seperti dalam bait puisi diatas. Chairil Anwar ingin memperlihatkan tentang seperti apa pandangan hidupnya tentang dirinya, dan bagaimana ia berpikir tentang sosok dirinya di mata dunia dan tak keberdayaannya.  Ada puisi-puisi yang kosakatanya diambil dari bahasa sehari-hari. Hal tersebut memberikan efek gaya yang realistis. Sebaliknya, penggunaan kata-kata indah memberi efek romantis. 

5. Gaya sosial konvensi yang dipakai secara bersamaan oleh para penulis.
                   Puisi merupakan karya sastra yang memiliki struktur yang sangat kompleks yang terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya, yang dijelaskan oleh Rene Wellek sebagai berikut :
Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi, maka yang terdengar adalah serangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang.  Lapis pertama yang berupa bunyi tersebut mendasari timbulnya lapis kedua, yaitu lapis arti (unit of meaning), karena bunyi-bunyi yang ada pada puisi bukanlah bunyi tanpa arti. Bunyi-bunyi itu disusun sedemikian rupa menjadi satuan kata, frase, kalimat, dan bait yang menimbulkan makna yang dapat dipahami oleh pembaca.
                  Rangkaian satuan-satuan arti tersebut menimbulkan lapis ketiga berupa unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi, misalnya latar, pelaku, lukisan-lukisan, objek-objek yang dikemukakan, makna implisit, sifat-sifat metafisis, dunia pengarang dan sebagainya.
Untuk menjelaskan penerapan analisis strata norma tersebut berikut diberikan sebuah contoh.

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang terang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata :
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri 

                   Pembahasan lapis bunyi hanyalah ditujukan pada bunyi-bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu bunyi-bunyi yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Misalnya pada baris pertama puisi di atas ada asonansi a dan u; di baris kedua ada aliterasi s (gadis manis sekarang iseng sendiri). Demikian juga pada bait kedua ada asonansi a (melancar – memancar – si pacar – terang – terasa); dan ada pula aliterasi l dan r (melancar – bulan memancar – laut terang – tapi terasa).  Kecuali asonansi dan aliterasi, terdapat pula rima teratur yang digarap dengan sangat mengesankan oleh Chairil Anwar. Bait 1 dan bait terakhir mempunyai rima yang sama (a b), yang nampaknya mengapit bait-bait di antaranya yang berpola rima a a – bb. Rima konsonan memancar – si pacar dipertentangkan dengan rima terasa – padanya yang merupakan bunyi vokal. Rima kutempuh – merapuh (konsonan) dipertentangkan dengan rima vokal dulu – cintaku.
Rima yang berupa asonansi dan aliterasi pada puisi di atas berfungsi sebagai lambang rasa (klanksymboliek) sehingga menambah keindahan puisi dan memberi nilai rasa tertentu.
Asonansi
Pengulangan bunyi vokal yang sama pada baris yang sama
Aliterasi
1.Pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan.
2.Sajak/rima awal


Dalam kegiatan menganalisis arti, kita berusaha memberi makna pada bunyi, suku kata, kata, kelompok kata, kalimat, bait, dan pada akhirnya makna seluruh puisi. Sebagai contoh, berikut ini adalah analisis makna per kalimat, per bait dan akhirnya makna seluruh puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’.
Bait I Cintaku jauh di pulau berarti kekasih tokoh aku berada di pulau yang jauh. Gadis manis sekarang iseng sendiri artinya sang kekasih tersebut adalah seorang gadis yang manis yang menghabiskan waktu sendirian (iseng) tanpa kehadiran tohoh aku.
Pada bait II, si tokoh aku menempuh perjalanan jauh dengan perahu karena ingin menjumpai kekasihnya. Ketika itu cuaca sangat bagus, namun hati si aku merasa gundah karena rasanya ia tak akan sampai pada kekasihnya.
Bait III menceritakan perasaan si aku yang semakin sedih karena walaupun air terang, angin mendayu, tetapi pada perasaannya ajal telah memanggilnya (Ajal bertahta sambil berkata : “Tujukan perahu ke pangkuanku saja”).
Bait IV menunjukkan si aku putus asa. Demi menjumpai kekasihnya ia telah bertahun-tahun berlayar, bahkan perahu yang membawanya akan rusak, namun ternyata kematian menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum ia bertemu dengan kekasihnya.
Bait V merupakan kekhawatiran si tokoh aku tentang kekasihnya, bahwa setelah ia meninggal, kekasihnya itupun akan mati juga dalam penantian yang sia-sia.
Setelah kita menganalisis makna tiap bait, kita pun harus sampai pada makna lambang yang diemban oleh puisi tersebut. Kekasih tokoh aku adalah kiasan dari cita-cita si aku yang sukar dicapai. Untuk meraihnya si aku harus mengarungi lautan yang melambangkan perjuangan. Sayang, usahanya tidak berhasil karena kematian telah menjemputnya sebelum ia meraih cita-citanya.
Lapis arti menimbulkan lapis ketiga berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’, makna implisit, dan metafisis.
Pada puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’, objek yang dikemukakan adalah cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal. Pelaku atau tokohnya adalah si aku , sedang latarnya di laut pada malam hari yang cerah dan berangin.
Jika objek-objek, latar, dan pelaku yang dikemukakan dalam puisi digabungkan, maka akan menghasilkan ‘dunia pengarang’ atau isi puisi. Ini merupakan dunia (cerita) yang diciptakan penyair di dalam puisinya.
Contoh, berdasarkan puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’ kita dapat menuliskan ‘dunia pengarang’ sebagai berikut :
Kekasih tokoh aku (gadis manis) berada di suatu tempat yang jauh. Karena ingin menemuinya, pada suatu malam ketika bulan bersinar dan cuaca bagus, si aku berangkat dengan perahu. Akan tetapi, walaupun keadaan sangat baik untuk berlayar (laut terang, angin mendayu), namun si aku merasa ia tak akan sampai pada kekasihnya itu. Pelayaran selama bertahun-tahun, bahkan sampai perahunya akan rusak, nampaknya tidak akan membuahkan hasil karena ajal lebih dulu datang. Ia membayangkan, setelah ia mati kekasihnya juga akan mati dalam kesendirian.

                   Ada pula makna implisit yang walaupun tidak dinyatakan dalam puisi namun dapat dipahami oleh pembaca. Misalnya kata ’gadis manis’ memberi gambaran bahwa pacar si aku ini sangat menarik. Dalam puisi tersebut terasa perasaan-perasaan si aku : senang, gelisah, kecewa, dan putus asa. Kecuali itu ada unsur metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam puisi di atas, unsur metafisis tersebut berupa ketragisan hidup manusia, yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya berjalan lancar, namun manusia seringkali tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya karena maut telah menghadang lebih dahulu. Dengan demikian, cita-cita yang hebat dan menggairahkan akan sia-sia belaka.

6.  Gaya berhubungan dengan wacana.
                  Bila melihat gaya yang berhubungan dengan retorik tentunya puisi Chairil Anwar memang mencerminkan jamannya dan pengarangnya sendiri. Kekhasan puisi-puisinya tentunya memang tak diragukan lagi. Puisinya yang berjudul “Aku”, “Kerawang-Bekasi”, “Diponegoro”, dan “Prajurit Jaga Malam” memang memiliki intrik tentang pelukisan jaman saat itu. puisi-puisi di atas justru memberikan dorongan untuk membuat pembebasan dengan segera, dalam bidang perpuisian dan tidak mustahil pula bagi para pejuang bangsa dapat ditafsirkan pembebasan diri dari penjajah dengan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Memang, dia tidak menyatakannya secara eksplisit pembebasan Indonesia dalam sajaknya tersebut, tetapi isi puisi selalu harus ditafsirkan, dan dalam suasana tertentu dapat memberikan penghayatan lain pada pembacanya. Apalagi hendaklah diingat bahwa Maret 1943 pemerintah Dai Nippon masih bercokol di bumi Indonesia. Bahwa puisi itu dapat memberi penghayatan khusus pada para pejuang yang mampu menambah semangat perjuangan bangsa jelas terasa, baik dalam judul “Kerawang  Bekasi” maupun “Prajurit Jaga Malam”.
                  HB. Jassin pernah mengatakan bahwa puisi-puisi Chairil Anwar bahwa tentang bentuk dan irama puisinya jauh dari pantun, syair, sonata, ataupun sajak bebas pujangga baru. Isinya seperti dinamo berisi listrik. Ini ialah pemberontakan yang terjadi dalam jiwa. Ukuran-ukuran lama dilemparkan semua. Kesombongan yang dilarang orang tua-tua mencapai puncaknya. Maut ditantang dan dikesampingkannya. Dan ada orang tua yang mengatakan ia kafir besar yang perlu digantung.
                 Di dalam puisinya tidak ada lagi penggambaran alam yang indah, perasaan yang romantis, atau kesedihan yang menusuk hati yang digambarkan oleh Chairil Anwar. Dia telah merombak tradisi lama. Bukan hanya dalam bentuk, tetapi juga dalam isi. Sebagian besar atau hampir semua puisi Chairil Anwar merupakan wujud cita-cita kebebasan yang begitu berani. Kalaupun dalam puisi ada bentuk kuatrin, bentuk itu terjadi bukan karena aturan tradisi dipatuhi, namun terjadi karena ketetapan penuangan isi yang memang harus demikian. Bentuk disediakan karena isi, dan bukan sebaliknya isi harus tunduk kepada bentuk yang tersedia. Sementara genre puisi yang digunakan dalam puisi-puisi Chairil Anwar dibatas adalah sbb:
“Diponegoro” merupakan puisi Epik. Yaitu puisi yang memang didalamnya mengandung kepahlawanan yang berkaitan dengan legenda, kepercayaan maupun sejarah. Puisi yang berjudul “Diponegoro” memang memperlihatkan semangat dan tentang kepahlawanan pangeran Diponegoro.
                  Sementara puisi “Prajurit Jaga Malam” dan “Kerawang-Bekasi” tergolong puisi lirik. Hal ini dikarenakan puisi lirik adalah puisi yang berisi luapan batin penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap maupun suasana batin yang melingkupi sang penyair sehingga tercetuslah puisi itu sendiri. Kedua puisi ini tergolong genre demikian karena pada dasarnya, Chairil Anwar merasakan sosok-sosok mereka prajurit yang selalu ditatapnya yang tak kenal lelah. Ia merasakan penderitaan mereka sekalipun di sini ia tak benar-benar berada dalam lingkup sama dengan sosok yang ia ceritakan. Namun suasananya jelas terasa kentara tentang ungkapan kemerdekaan dan perjuangan seorang prajurit dalam medan perang.
                   Sementara puisi “Aku” tergolong puisi Elegi. hal ini dikarenakan maksud puisi “Aku” sama dengan jenis puisi Elegi. Yaitu puisi yang berisi ratapan seseorang tentang apa saja. Mungkin karena kepahitan hidup, mungkin karena cintanya yang terpaksa  berantakan dan sebagainya. Dan puisi terakhir “Cintaku Jauh di Pulau” tergolong puisi romance atau roman karena berisi luapan perasaan kepada kekasih. 





 















Simpulan

Chairil Anwar adalah penyair yang identik dengan kesusastraan Indonesia. Setiap orang Indonesia yang telah mengecap pendidikan formal pasti mengenal namanya. Ini menunjukkan bahwa Chairil Anwar sangat dikenal sebagai sastrawan, khususnya penyair. Walaupun Chairil Anwar meninggal dalam usia yang relatif muda 27 tahun, tetapi melalui karya-karyanya ia membuktikan kata-kata dalam sajaknya, Sekali berarti setelah itu mati dan Aku mau hidup seribu tahun tahun lagi.

Chairil Anwar menjadi sangat terkenal karena dua hal. Pertama, ia menulis sajak-sajak bermutu tinggi dengan jenis sastra yang menyandang suatu ideologi atau pemikiran besar tertentu seperti perang, revolusi dan sebagainya. Ahli sastra menyebut sastra jenis ini dengan istilah Sastra Mimbar, yaitu jenis sastra yang secara tematis sangat erat hubungannya dengan keadaan dan persoalan zaman. Hal itu dapat berupa tanggapan dari persoalan-persoalan besar di zaman itu. Beberapa karya Chairil Anwar yang termasuk sastra mimbar adalah “Aku”, “Perjanjian Dengan Bung Karno”, “Catatan Tahun 1946” dan “Kerawang Bekasi”.
Dalam analisis stilistika dapat disimpulkan bahwasannya puisi-puisi Chairil Anwar memang memiliki corak warna tersendiri, sekalipun ada beberapa puisi yang pemaknaannya disalah artikan. Dan kedalaman makna puisinya memang akan selalu mengundang decak kagum pembacanya.










DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang :   
IKIP Semarang Press.

Anwar, Chairil, 1986. Aku Ini Binatang Jalang (ed.Panusuk Eneste). Jakarta: Gramedia.

Jassin, H.B.1983. Chairil Anwar Pelopor Angkatan’45, Disertai Kumpulan Hasil Tulisannya.
Gunung Agung: Jakarta.

Kadir, Bakar Abdul. 1974. Sekelumit Pembicaraan Tentang Chairil Anwar. LPPI Universitas
Hasanudin: Ujung Pandang.
Luxemberg, Jan Van, et al, 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia
Nurhayati. 2008. Teori dan Aplikasi Stilistik. Palembang : Unsri
Pradopo, Rachmat Djoko, dkk. 1993. Citra Manusia Dalam Puisi Indonesia Modern. Jakarta:
Pusat.
Tjahjono, Tengsoe. Sastra Indonesia Pengantar Teori dan Apresiasi. Nusa Indah.
Waluyo, Herman J., 1981. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Penerbit Erlangga
http://telagahikmah.org/id - Bentara Budaya Hujjatiyah
www.wisdoms4all.com



1 komentar:

  1. waw.. sebuah pembahasan yang komplit dan mengesankan bagi seorang penyandu sastra seperti saya..
    mungkin ada sedikit kata yang "tidak nyambung" dalam pembahasannya, tapi menurut saya nilai plus banyak buat karya ilmiah ini..
    terima kasih telah membuat tulisan yang saya anggap sangat berguna bagi seorang pemula seperti saya ini...
    semangat buat sastra indonesia !

    BalasHapus