I.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Salah satu asumsi pokok kelahiran sosiolinguistik
sebagai cabang ilmu bahwa masyarakat bahasa bersifat heterogen, baik antara
satu masyarakat bahasa dengan masyarakat lainnya, atau pula di antara anggota
dalam masyarakat bahasa yang sama. Heterogenitas itu ditandai oleh berbagai perbedaan sosial
seperti status sosial, peran sosial, jenis kelamin, umur, latar belakang etnik,
lingkungan, pendidikan, dan agama. Masyarakat bahasa adalah semua anggota
masyarakat tidak hanya menggunakan satu aturan yang sama secara bersama-sama dalam
berbicara, tetapi juga menggunakan setidak-tidaknya satu variasi yang sama.
Pandangan di atas mulai bergeser ketika orang
sudah dapat mengerti satu sama lain
walaupun mereka menggunakan aturan dan variasi yang berbeda. Pergeseran ini
terjadi akibat desakan zaman yang umum dikenal sebagai globalisasi yang
benar-benar tidak terbendung lagi. Penduduk dengan segala atribut yang
mengikutinya, tidak terkecuali bahasa, berpindah secara geografis atau maya
dalam ruang yang nyaris tidak terbatas. Teknologi transportasi yang canggih
telah memudahkan berpindah tempat, dan teknologi maya yang super canggih telah
pula memudahkan orang untuk berkomunikasi tanpa harus bergerak dari tempat
tinggalnya. Wawasan pengetahuan bahasa lokal, regional, maupun internasional
semakin bertambah dalam pikiran orang-orang yang menggunakan jasa teknologi di
atas, bahkan orang-orang semacam ini semakin
lama semakin banyak jumlahnya.
Walaupun realitas akan terus bergerak, namun definisi
masyarakat bahasa pun sewajarnya memenuhi aturan-aturan dan itu bisa saja sama
atau berbeda. Ketika semua orang berbicara dalam satu bahasa dengan menggunakan
fonologi dan tata bahasa yang sama atau berbeda secara secara bersama-sama,
ketika itu mereka dapat dikategorikan sebagai satu kelompok masyarakat bahasa.
Tentu bahasa yang digunakan tidak menjadi kendala terhadap pemahaman satu sama
lain.
Dalam sosiolinguistik Dell Hymes tidak membedakan
secara eksplisit antaraa bahasa sebagai sistem dan tutur sebagai keterampilan.
Keduanya disebut kemampuan komunikatif (communicative competence). Kemampuan
komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki penutur beserta
keterampilan mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan fungsi dan situasi
serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya. Kemampuan komunikatif yang
dimiliki individu maupun kelompok yang disebut verbal repertoire. Jadi verbal repertoire sdapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu verbal repertoire
yang dimiliki individu dan verbal repertoire yang dimiliki masyarakat. Jika
suatu masyarakat memiliki verbal
repertoire yang relatif sama dan
memiliki penilaian yang sama terhadap pemakaian bahasa yang digunakan dalam
masyarakat di sebut masyarakat bahasa. Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat bahasa
dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) masyarakat monolingual, (2) masyarakat
bilingual, (3) masyarakat multilingual. Makalah ini membahas pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual.
Interaksi sosial dalam masyarakat melahirkan multibahasa,
dengan tersedianya beberapa bahasa atau ragam bahasa menuntut tiap-tiap penutur
mampu memilih secara tepat bahasa atau ragam bahasa yang sesuai dengan situasi
komunikasi. Pemilihan bahasa ini tidak bersifat acak melainkan
mempertimbangkan berbagai faktor. Tulisan ini bertujuan memaparkan fenomena pemilihan
bahasa dalam masyarakat multilingual berdasarkan paradigma sosiolinguistik.
Pandangan de Saussure (1916) yang menyebutkan bahwa bahasa adalah salah
satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain,
seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi
isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa. Namun,
kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat baru muncul
pada pertengahan abad ini (periksa Hudson 1996: 2). Para ahli bahasa mulai
sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan
mengesampingkan beberapa aspek penting dan menarik, bahkan mungkin menyempitkan
pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Argumentasi ini telah
dikembangkan oleh Labov (1972) dan Halliday (1973). Alasannya adalah bahwa
ujaran mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai
suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Apabila kita mempelajari bahasa
tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama dengan menyingkirkan
kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang
digunakan. Satu aspek yang juga mulai disadari adalah hakikat
pemakaian bahasa sebagai suatu gejala yang senantiasa berubah. Suatu pemakaian
bahasa itu bukanlah cara pertuturan yang digunakan oleh semua orang, bagi semua
situasi dalam bentuk yang sama, sebaliknya pemakaian bahasa itu berbeda-beda
tergantung pada berbagai faktor, baik faktor sosial, budaya, psikologis, maupun
pragmatis. Hubungan bahasa dan faktor-faktor tersebut dikaji secara mendalam
dalam disiplin sosiolinguistik.
Dari perspektif sosiolinguistik fenomena pemilihan bahasa (language
choice) dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk
dikaji. Fasold (1984: 180) mengemukakan bahwa sosiolinguistik dapat menjadi
bidang studi karena adanya pilihan pemakaian bahasa. Fasold memberikan
ilustrasi dengan istilah societal multilingualism (multilingualisme
masyarakat) yang mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat.
Tidaklah akan ada bab tentang diglosia, apabila tidak ada variasi tinggi dan
rendah. Apabila dicermati setiap bab dalam karya Fasold (1984), akan jelas
bahwa setiap kajian dalam karya itu dipusatkan pada kemungkinan adanya pilihan
yang bisa dibuat di dalam masyarakat mengenai penggunaan variasi bahasa.
Statistik sekalipun menurut Fasold (1984) tidak akan diperlukan dalam kajian
sosiolinguistik, apabila tidak ada variasi dalam penggunaan bahasa dan pilihan
di antara variasi-variasi tersebut.
Faktor-faktor apa yang menjadi penentu pemilihan
bahasa dalam masyarakat multibahasa? Tulisan ini mencoba mengungkap
permasalahan tersebut. Berikut secara berturut-turut dipaparkan: (1) perspektif
sosiolinguistis tentang pemilihan bahasa ; (2) kategori pemilihan bahasa; (3)
faktor penentu pemilihan bahasa; dan (4) pendekatan pemilihan bahasa.
Kata kunci: pemilihan bahasa, masyarakat multibahasa, sosiolinguistik, pendekatan
sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka didapatkan
masalah
Faktor-faktor apa yang menjadi penentu
pemilihan bahasa dalam masyarakat multibahasa ?
3.
Tujuan
1.
Memaparkan fenomena pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual
berdasarkan paradigma sosiolinguistik.
2.
Diharapkan tulisan ini bermafaat bagi para peminat disiplin tersebut untuk
melakukan kajian pada latar situasi kebahasaan di Indonesia.
II.
Pembahasan
2.1. Perspektif
Sosiolinguistis tentang Pemilihan Bahasa
Sesuai dengan namanya, sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan
masyarakat (Wardhaugh, 1984: 4; Holmes, 1993; 1; Hudson, 1996: 2), yang
mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal
bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi. Istilah sosiolinguistik
itu sendiri baru muncul pada tahun 1952 dalam karya Haver C. Currie (via
Dittmar 1976: 27) yang menyatakan perlu adanya kajian mengenai hubungan antara
perilaku ujaran dengan status sosial. Ia mulai berkembang pada akhir tahun
60-an, dan diujungtombaki oleh Committee on Sociolinguistics of the
Social Science Research Council (1964) dan Research Committee
on Sociolingustics of the International Sociology Association (1967).
Jurnal baru terbit pada awal tahun 70-an, Language in Society (1972)
dan International Journal of the Sociology of Language (1974),
dan sejumlah buku teks pengantar (Pride, 1971,; Fishman, 1972, Dittmar, 1976).
Dari kenyataan itu dapat dimengerti bahwa sosiolinguistik merupakan disiplin
yang relatif baru.
Bahasa dalam kajian sosiolinguistik tidak didekati
sebagai bahasa sebagaimana dalam kajian linguistik teoretis, melainkan didekati
sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Konferensi sosiolinguistik
pertama yang berlangsung di University of California, Los Angeles, tahun 1964,
telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh
dimensi yang merupakan bidang kajian sosiolinguistik itu adalah (1) identitas
sosial penutur, (2) identitas peserta tutur, (3) lingkungan sosial tempat
peristiwa tutur, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek
sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku
bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi linguistik, dan (7) penerapan
praktis penelitian sosiolinguistik (lihat Dittmar 1976: 128). Sejalan dengan
rumusan itu, Kartomihardjo (1988: 4) mengemukakan gagasan tentang objek kajian
sosiolinguistik, sebagai berikut :
Sosiolinguistik
mempelajari hubungan antara pembicara dan pendengar, berbagai macam bahasa
dan variasinya, penggunaannya sesuai dengan berbagai faktor penentu, baik
faktor kebahasaan maupun lainnya, serta berbagai bentuk bahasa yang hidup dan
dipertahankan di dalam suatu masyarakat.
Gagasan itu mengandung pengertian bahwa sosiolinguistik mencakupi bidang
kajian yang luas, bukan hanya menyangkut wujud formal bahasa dan variasi bahasa
melainkan juga penggunaan bahasa di masyarakat. Penggunaan bahasa tersebut
bertemali dengan berbagai faktor, baik faktor kebahasaan itu sendiri maupun
faktor nonkebahasaan, seperti faktor sosialbudaya, termasuk tata hubungan
antara pembicara dan pendengar. Implikasinya adalah bahwa tiap-tiap kelompok
masyarakat mempunyai kekhususan dalam hal nilai-nilai sosialbudaya dan variasi
penggunaan bahasa dalam interaksi sosial.
Ada asumsi penting di dalam sosiolinguistik yang menyatakan
bahwa bahasa itu tidak pernah monolitik keberadaannya (Bell, 1975). Asumsi ini
mengandung pengertian bahwa sosio-linguistik memandang masyarakat yang
dikajinya sebagai masyarakat yang beragam setidak-tidaknya dalam hal penggunaan
bahasa atau dalam pilihan bahasa mereka. Adanya fenomena pemakaian variasi
bahasa dalam masyarakat tutur dikontrol oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan
situasional (Kartomihardjo, 1981, Fasold, 1984, Hudson, 1996, Wijana (1997: 5).
Dalam kajian pemilihan bahasa, tugas sosiolinguis adalah berusaha
menerangjelaskan hubungan antara gejala pemilihan bahasa dengan faktor-faktor
sosial, budaya, dan situasional dalam masyarakat dwibahasa atau
multibahasa, baik secara korelasional maupun implikasional.
Pada umumnya, sosiolinguistik mengkaji masyarakat
dwibahasa atau multibahasa. Dalam kenyataannya, fenomena pemilihan bahasa juga
akan bertemali dengan situasi semacam itu sebab untuk menentukan peilihan
bahasa atau ragam bahasa tertentu, tentu ada bahasa lain atau ragam lain yang
ikut digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari sebagai pendamping sekaligus
pembanding.
Sosiolinguistik melihat fenomena pemilihan bahasa
sebagai fakta sosial dan menempatkannya dalam sistem lambang (kode), sistem
tingkah laku budaya, serta sistem pragmatik. Dengan demikian, kajian
sosiolinguistik menyikapi fenomena pemilihan bahasa sebagai wacana dalam
peristiwa komunikasi dan sekaligus menunjukkan identitas sosial dan budaya
peserta tutur.
Dalam kaitannya dengan situasi kebahasaan di Indonesia, kajian pemilihan
bahasa dalam masyarakat di Indonesia bertemali dengan permasalahan pemakaian
bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa karena situasi kebahasaan di
dalam masyarakat Indonesia sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua
bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu (pada sebagaian besar masyarakat
Indonesia), bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing. Studi
pemilihan bahasa dalam masyarakat seperti itu lebih mengutamakan aspek tutur (speech)
daripada aspek bahasa (language). Sebagai aspek tutur, pemakaian bahasa
relatif berubah-ubah sesuai dengan perubahan unsur-unsur dalam konteks sosial
budaya. Hymes (1972; 1973; 1980) merumuskan unsur-unsur itu dalam akronim SPEAKING,
yang merupakan salah satu topik di dalam etnografi komunikasi (the
etnography of communication), yang oleh Fishman (1976: 15) dan Labov (1972:
283) disebut sebagai variabel sosiolinguistik.
Hymes (1980) mengemukakan tujuh belas komponen peristiwa tutur (components
of speech event) yang bersifat universal. Ketujuh belas komponen itu oleh
Hymes diklasifikasikan lagi menjadi delapan komponen yang diakronimkan
dengan SPEAKING: (1) setting
and scene (latar dan suasana tutur), (2) participants (peserta
tutur), (3) ends (tujuan tutur), (4) act sequence (topik/urutan
tutur), (5) keys (nada tutur), (6) instrumentalities (sarana
tutur), (7) norms (norma-norma tutur), dan (8) genre (jenis
tutur). Pandangan Hymes di atas dijadikan kerangka konsep pelaksanaan
penelitian ini. Kedelapan komponen peristiwa tutur tersebut merupakan faktor
luar bahasa yang menentukan pemilihan bahasa.
2.2. Kategori Pemilihan Bahasa
Pemilihan bahasa menurut Fasold
(1984: 180) tidak sesederhana yang kita bayangkan, yaitu memilih “sebuah bahasa
secara keseluruhan” (whole language) dalam suatu komunikasi. Kita
membayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih
bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang mengusai bahasa Jawa
dan bahasa Indonesia, harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu
ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi. Kenyataannya,
dalam hal memilih, terdapat tiga jenis pilihan. Pertama, dengan memilih satu
variasi dari bahasa yang sama (intra-language-variation). Apabila
seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada kepala desa dengan menggunakan
bahasa Jawa kromo, misalnya, maka ia telah melakukan pilihan bahasa
yang pertama itu. Kedua, dengan alih kode (code-swicthing), artinya
menggunakan satu bahasa pada satu keperluan, dan menggunakan bahasa yang lain
pada keperluan lain. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code-mixing),
artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan
dari bahasa lain.
Peristiwa peralihan bahasa atau alih kode (code-switching) dapat
terjadi karena beberapa faktor. Rayfield (1970: 54-58) berdasarkan studinya
terhadap masyarakat dwibahasa bahasa Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan dua
faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur (seperti kehadiran
seseorang dari luar dan perubahan topik pembicaraan) dan sebagai alat
retorik (seperti penekanan pada kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap
kata-kata yang tabu). Menurut Blom dan Gumperz (1972: 408-409) ada dua macam
alih kode, yaitu (1) alih kode situasional (situational switching) dan
(2) alih kode metaforis (metaphorical switching). Alih kode yang
pertama terjadi karena perubahan situasi, sedangkan alih kode yang kedua
terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metafora (yang
melambangkan identitas penutur).
Campur kode (code-mixing) merupakan peristiwa percampuran dua atau
lebih bahasa atau dua ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di dalam
masyarakat tutur Jawa yang diteliti juga diduga akan terdapat gejala tersebut.
Gejala seperti itu cenderung mendekati pengertian yang dikemukakan oleh Haugen
(1972: 79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of languages), yaitu
pemakaian satu kata, ungkapan atau frase pendek, yang di Filipina (menurut
Sibayan dan Segovia, 1980: 113) disebut mix-mix atau halu-halu atau Taglish,
untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Di
Indonesia, Nababan (1978: 7) menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk
pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
2.3.
faktor-faktor penentu pemilihan bahasa
Ervin-Trip (dalam Grosjean 1982: 125)
mengidentifikasikan empat faktor utama yang menyebabkan pemilihan bahasa, yaitu
(1)
latar
(waktu dan tempat) dan situasi, yaitu dapat berupa hal-hal, seperti: makan pagi
di lingkungan keluarga, pesta kuliah,
dan tawar menawar di pasar.
(2)
partisipan dalam interaksi, yaitu
mencakup hal-hal, seperti: usia, jenis kelamin,
pekerjaan, status sosial ekonomi, asal,
latar belakang kesukuan, dan peranannya dalam hubungan dengan partisipan lain.
(contoh: direktur-karyawan, suami-istri, penjual pembeli, guru-siswa).
(3)
topik percakapan, yaitu dapat berupa:
topik-topik tentang pekerjaan, olah raga, harga
sembako, peristiwa aktual, dan
sebagainya.
(4)
fungsi interaksi yaitu berupa hal-hal
seperti: penawaran informasi, permohonan, dan
mengucapkan terima kasih.
Senada dengan pendapat Ervin-Trip di atas, Grosjean
(1982: 136) berpendapat tentang faktor yang berpengaruh dalam pemilihan bahasa.
Menurut Grosjean terdapat empat faktor, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3)
isi wacana, (4) fungsi interaksi.
Aspek yang perlu diperhatikan dari faktor partisipan
adalah (a) keahlian berbahasa, (b) pilihan bahasa yang dianggap lebih baik, (3)
status sosial ekonomi, (d) usia, (e) jenis kelamim, (f) pendidikan, (g)
pekerjaan, (h) latar belakang etnis, (i) relasi kekeluargaan, (j) keintiman,
(k) sikap kepada bahasa-bahasa, dan (l) kekuatan luar yang menekan.
Faktor situasi mencakup: (a) lokasi atau latar, (b)
kehadiran pembicara monolingual, (c) tingkat formalitas, dan (d) tingkat
keintiman. Faktor isi wacana berkaitan dengan (a) topik percakapan dan (b) tipe
kosakata. Faktor fungsi interaksi mencakup: (a) strategi menaikan status, (b)
jarak sosial, (c) melarang masuk atau mengeluarkan seseorang dari pembicaraan,
dan (d) memerintah atau meminta.
Dari jabaran di atas, yang perlu diperhatikan adalah
adanya atau jarang terdapat faktor tunggal yang mempengaruhi pemilihan bahasa
seorang dwibahasawan/multibahasawan. Yang menjadi pertanyaan adalah “apakaah
faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya?. Umumnya beberapa
faktor menduduki kedudukan yang lebih penting daripada faktor lainnya. Di
Obewart, Gal (dalam Grosjean, 1982: 143) menemukan bukti bahwa karakteristik
pembicara dan pendengar menduduki faktor penentu terpenting. Sedangkan faktor
topik dan latar merupakan faktor yang kurang penting daripada faktor
partisipan.
Berbeda dengan Gal, Rubin menemukan faktor penentu
yang terpenting adalah lokasi interaksi. Rubin meneliti pilihan bahasa Guarani
dan Spanyol di Paraguay. Dari penelitian itu dapat disimpulkan bahwa lokasi
interaksi, yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum, sangat menentukan
pilihan bahasa oleh pembicara bilingual. Di desa, pembicara akan memilih bahasa
Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memimilih
bahasa Spanyol (Grosjean 1982: 43).
2.4.
Pendekatan Pemilihan Bahasa
Penelitian terhadap pemilihan bahasa menurut Fasold
(1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan
sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Ketiga
pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
2.4.1.
Pendekatan
Sosiologi
Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah
(domain). Pendekatan ini pertama dikemukakan oleh Fishman (1964). Ranah menurut
Fishman (1964) dipandang sebagai konstelasi faktor-faktor seperti lokasi,
topik, dan partisipan. Ranah didefinisikan sebagai konsepsi sosiokultural yang
diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar komunikator, tempat
komunikasi di dalam keselarasan lembaga masyarakat dan bagian dari aktivitas
masyarakat tutur (Fishman dalam Pride dan Holmes (ed), 1972). Di bagian lain,
Fishman (dalam Amon, 1987) mengemukakan bahwa ranah adalah konsepsi teoretis
yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama
dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga,
ketetanggaan, agama, dan pekerjaan. Sebagai contoh, apabila penutur
berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah topik, maka
penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga.
Analisis domain terkait dengan diglosia. Di dalam
sebuah masyarakat yang terdapat diglosia, bahasa rendah (low) merupakan bahawa
yang cenderung dipilih dalam domain keluarga, sedangkan bahasa tinggi
dipergunakan dalam domain yang lebih formal, seperti pendidikan dan
pemerintahan.
Penelitian yang mempergunakan analisis domain pernah
dilakukan antara lain oleh Greenfield (1972) tentang pemilihan bahasa Spanyol
dengan tiga komponen kongruen, yaitu: orang, tempat, dan topik. Untuk menguji
apakah sebuah paduan dari ketiga faktor itu benar-benar berhubungan dengan
pikiran anggota masyarakatnya, Greenfield menyebarkan kuesioner.
Dengan kuesioner itu subjek diberi dua faktor yang
kongruen dan diminta untuk menyeleksi yang ketiga dan juga bahasa yang akan
mereka gunakan dalam panduan situasi. Subjek diberi tahu untuk memikirkan
sebuah percakapan dengan orang tua tentang masalah keluarga dan meminta memilih
tempat di antara beberapa pilihan: rumah, pantai, gereja, sekolah, dan tempat
kerja. Dari kuesioner yang kembali mayoritas responden memilih lokasi rumah
seperti yang diharapkan. Dengan satu perkecualian (pilihan pantai sebagai
komponen yang tepat untuk domain persahabatan), komponen ketiga yang diharpkan
dipipih oleh paling tidak 81 persen subjek.
Setelah memilih komponen ketiga yang tepat, subjek
diminta untuk menunjukkan yang mana yang berhubungan dengan domain pada skala
lima-butir. Skala ini mirip dengan skla perbedaan-semantik yang sering
digunakan dalam penelitian sikap bahasa. Angka 1 pada skala itu menunjukkan
semua bahasa Spanyol, 2 berarti lebih banyak bahasa Spanyol daripada bahasa
Inggris, 3 berarti jumlah yang sama antara bahasa Spanyol dan bahasa Inggris, 4
leboh banyak bahasa Inggris daripada bahasa Spanyol, 5 berarti semua bahasa Inggris.
Dari hasil rata-rata diketahui bahwa bahasa Spanyol mendapatkan rata-rat rendah
dan lebih banyak subjek yang memilih bahasa Inggris. Analisis varian dengan
pilihan bahasa sebagai variabel bebas menunjukkan bahwa perbedaan menurut
kategori domain signifikan pada p < 0,01. Interpretasi yang bisa ditarik
adalah bahwa bahasa Spanyol lebih cenderung dipilih dalam situasi akrab, dan
bahasa Inggris lebih cenderung dipilih dalam situasi yang terdapat perbedaan
status. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis inilah Greenfield menemukan
bukti bahwa masyarakat Puerto Rico di New York City cenderung diglosik, dengan
bahasa Spanyol sebagai bahasa rendah dan bahasa Inggris sebagai bahasa tinggi.
2.4.2. Pendekatan
Psikologi Sosial
Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan
psikologi sosial lebih tertarik pada proses psikologis manusia daripada
kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi pada
individu, seperti motivasi individu, daripada berorientasi pada masyarakat.
Karya-karya penting dalam penelitian pemilihan bahasa dengan pendekatan
psikologi sosial telah dilakukan oleh Simon Herman (1968), Giles dan
kawan-kawannya (Giles 1973; Giles, Bourhish dan Taylor 1977).
Herman (1968 dalam Fasold 1984: 187) mengemukakan
teori situasi tumpang tindih yang mempengaruhi seseorang di dalam pemilihan
bahasa. Menurut Herman seorang penutur dwibahasa berada pada lebih dari satu
situasi psikologis secara simultan. Herman membicarakan tiga jenis situasi.
Situasi pertama berhubungan dengan kebutuhan personal penutur (personal
needs), kedua situasi lain berhubungan dengan pengelompokkan sosial (social
grouping), yaitu situasi latar belakang (background situation) dan
situasi sesaat (immediate situation).
Sangatlah bermakna untuk melihat ketika pembicara yang
harus memilih antara dua bahasa atau lebih pada dua situasi tumpang tindih.
Kedua situasi psikologis itu menurut Herman (dalam Fishman 1977: 493) sebagai
berikut, Pertama, satu situasi yang berkaitan dengan kebutuhan yang ada pada
pribadi, yaitu keinginan untuk berbicara dalam bahasa tertentu (bahasa yang
paling dikuasainya); situasi lain berkiatan dengan norma-norma kelompoknya yang
memungkinkan dia memaksa diri menggunakan bahasa lain (bahasa itu mungkin belum
dikuasainya secara baik).Di sini terjadi konflik antara kebutuhan pribadi dan
tuntutan kelompok. Kedua, dalam penentuan bahasa yang akan digunakan muncul
kekuatan yang tidak hanya dari situasi yang bersemuka (face to face),
akan tetapi juga dari situasi yang lebih besar. Dengan pendekatan yang sama, Howard
Giles (1977, 321-324) mengembangkan teori akomodasi (acomodation theory).
Secara normal, akomodasi mengambil bentuk konvergensi, yang ditunjukkan dengan
memilih sebuah bahasa atau variasi bahasa yang tampak sesuai dengan kebutuhan
orang yang diajak berbicara. Dalam kondisi tertentu, seorang penutur dapat
gagal melakukan konvergensi bahka mungkin dengan sengaja melakukan
divergensi. Dengan kata lain, seorang penutur mungkin tidak mengalami kesulitan
sama sekali dalam memilih bahasa atau variasi bahasa untuk menyesuaikan dengan
orang lain, dan ada penutur yang dengan sengaja memilih bahasa atau variasi
bahasa yang tidak sesuai dengan orang yang diajak berbicara.
Hal di atas terjadi ketika penutur ingin menekankan
loyalitasnya pada kelompokknya sendiri dan membedakan dirinya dari kelompok
mitra bicara. Satu contoh yang jelas adalah ketika seorang Amerika kulit hitam
yang berbicara dengan orang berkulit putih dengan menggunakan bahasa
Inggris dialek hitam untuk menunjukkan jati dirinya.
2.4.3.
Pendekatan
Antroplogi
Dari pandangan antropologi, pilihan bahasa bertemali
dengan perilaku yang mengungkap nilai-nilai sosial budaya. Seperti juga
psikologi sosial, antropologi tertarik dengan bagaimana seorang penutur
berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa jika
psikologi sosial memandangnya dari sudut kebutuhan psikologis penutur,
pendekatan antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang menggunakan
pemilihan bahasanya untuk mengungkapkan nilai kebudayaannya (Fasold 1984: 192).
Dari segi metodologi terdapat perbedaan antara pendekatan antropologi,
pendekatan sosiologi, dan psikologi sosial. Sosiologi dan psikologi sosial
lebih mengarahkan kajiannya pada data kuesioner atau observasi atas orang-orang
yang ditelitinya di bawah kendali eksperimen, sedangkan pendekatan antropologi
menempatkan nilai yang tinggi pada perilaku takterkontrol yang alamiah. Hal ini
membimbing mereka untuk menggunakan metode penelitian yang jarang digunakan
oleh sosiolog dan psikolog sosial, yaitu yang disebut observasi partisipan (participant
observation). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Susan Gal
(yang mempublikasikan penelitiannya 1979) di Oberwart, Australia Timur. Ia
menghabiskan waktu satu tahun untuk tinggal di sebuah keluarga setempat
(Fasold, 1984: 192).
Dengan menggunakan metode observasi partisipan,
antropolog dapat memberikan perspektif penjelasan atas pemilihan bahasa
berdasarkan persepsinya sebagai penutur sebuah kelompok atau lebih yang
“dimasukinya” selama mengadakan penelitian. Implikasi dari metode ini adalah
bahwa pengamat adalah peneliti yang menjadi anggota kelompok yang diamatinya
(Wiseman dan Aron, 1970: 49). Selain itu, metode observasi partisipan
yang tipikal dalam pendekatan itu, yang mengarah kepada peneliti sebagai instrumen
penelitian relevan untuk mengungkap secara alamiah gejala pemilihan bahasa
dalam masyarakat multibasa di Indonesia.
III.
PENUTUP
Pemilihan bahasa dalam paradigma sosiolinguistis
bertemali bukan hanya dengan masalah linguistis semata, melainkan juga dengan
masalah sosial, budaya, psikologis, dan situasional. Dalam konteks situasi
kebahasaan di Indonesia, dengan adanya berbagai bahasa atau ragam bahasa yang
digunakan dalam interaksi sosial, kajian secara mendalam terhadap fenomena ini
sanat penting untuk dilakukan. Kajian seperti itu bermakna baik secara teoretis
maupun praktis. Secara teroretis kajian ini bermanfaat bagi pengembangan sosiolinguistik
pada umumnya, dan sosiolinguistik Indonesia pada khususnya.
Disadari bahwa temuan sosiolinguistik yang
berlatar situasi kebahasaan dan sosial budaya di Indonesia diharapkan
menjadi sumbangan berharga bagi disiplin sosiolinguistik pada umumnya. Secara
praktis kajian itu bermakna bagi peristiwa komunikasi. Kajian pemilihan bahasa
bermanfaat dalam memberikan wawasan tentang peristiwa komunikasi dalam
masyarakat multibahasa di Indonesia. Dalam peristiwa itu keharusan untuk
memilih bahasa atau ragam bahasa yang cocok dengan situasi komunikasi tidak
dapat dihindari sebab kekeliruan dalam melakukan pemilihan bahasa atau ragam
bahasa dapat berakibat kerugian bagi peserta komunikasi itu.